Senin, 25 November 2024

INFORMASI :

SELAMAT DATANG DI WEBSITE KELURAHAN SELANG KECAMATAN KEBUMEN KABUPATEN KEBUMEN. Jam Kerja : Senin - Kamis (07.30-16.00), Jum'at (07.30-11.00). Sabtu dan Minggu Libur.

Tapak Tilas R.Ng. Kramaleksana dan Sejarah Desa Selang

Tapak Tilas R.Ng. Kramaleksana dan Sejarah Desa Selang

Tapak Tilas R.Ng. Kramaleksana dan Sejarah Desa Selang

Menelusuri sejarah dan perkembangan Desa Selang, sudah pasti tidak akan lepas dengan sosok bernama R.Ng. Kramalesana.  Beliau adalah salah satu sosok paling vital bagi terbentuknya desa Selang dewasa ini. Bahkan, vitalnya sosok beliau sampai diabadikan dalam bentuk nama jalan. Fenomena ini dapat dijumpai ketika hendak melintasi jalan desa dari arah Selang menuju Desa Kalirejo, jalan desa ini memanjang kurang lebih tiga kilometer mengarah ke utara dengan nama JL. Kramaleksana.

R.Ng. Kramaleksana sendiri bukan hanya vital bagi masyarakat di Desa Selang, namun juga memiliki pengaruh terhadap tradisi dan perkembangan Desa Selang dewasa ini.  Lantas seberapa vitalkah sosok R.Ng. Kramaleksana bagi masyarakat di Desa Selang? Dan bagaimana kilas hidup beliau sehingga dapat memberi pengaruh besar bagi tradisi dan perkembangan Desa Selang?

Sebagai pemahaman dasar, R.Ng. Kramaleksana sendiri hidup pada kurun waktu 1630-1735 M dimana beliau merupakan Menteri Pemajegan (Petugas Pegumpul Pajak) di era Mataram Islam. Adapun beberapa wiayah yang menjadi basis beliau bertugas yakni, Kebumen, Purbalingga, Purworejo, Wonosobo, Banyumas, Banjanegara, hingga Cilacap. Namun sebelum menjadi Menteri Pemajegan, kiranya perlu untuk mengetahui sejarah sosok beliau sedari belia.

Masa Belia R.Ng. Kramaleksana

R.Ng. Kramaleksana terlahir dengan nama Mukhammad Sabaruddin, dengan sapaan Sabaruddin. Ayahnya adalah Bekel Sutawijaya, merupakan pejabat pemerintahan Mataram Islam dengan pangkat Demang di Kutowinangun, Kebumen, Jawa Tengah.

Bekel Sutawijaya sendiri memiliki tiga orang istri dengan anak berjumblah tujuh, dimana Mukhamad Sabaruddin merupakan anak tunggal dari seorang istri pertama bernama Ong Mien Tang seorang wanita campuran berdarah Tionghoa - Cirebon.

Mukhamad Sabaruddin sedari kecil dibesarkan di lingkungan Keraton Mataram, hal tersebut dikarenakan ayahnya masih menjabat sebagai salah satu Manggala Yudha (Kepala Pasukan) Keraton Mataram Islam di bawah kepemimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645 M).

Sehari-hari Mukhammad Sabaruddin kecil kerap dibimbing mengenai ilmu keagamaan dengan beberapa ulama keraton sebagai pengasuhnya, salah satunya yakni Ki Ageng Gribig. Selain dibimbing ilmu keagamaan, Mukhammad Sabaruddin juga kerap berlatih olah kanoragan (ilmu beladiri) dan menjadikan olah kanoragan sebagai aktivitas yang begitu ia sukai.

Saking kerapnya berlatih ilmu kanoragan, ayahnya menilai bahwa Mukhammad Sabaruddin memiliki bakat dibidang bela diri. Maka dititipkanlah Mukhammad Sabaruddin kepada Ki Ageng Ronggojati untuk menjadi guru kanoragannya. Ki Ageng Ronggojati adalah salah seorang guru kanoragan di lingkungan keraton yang juga merupakan salah satu penasihat spritual Keraton Mataram Islam.

Sebagai metode latihan, Ki Ageng Ronggojati kerap mengajak Mukhammad Sabaruddin untuk berlatih kanoragan bersama para bergodo muda (prajurit muda) Mataram. Bahkan, diusianya yang masih muda (10-13 tahun) Mukhammad Sabaruddin kerap berlatih tanding dengan bergodo-bergodo muda yang rata-rata sudah berusia 16-17 tahun. Selain piawai di bidang bela diri, Mukhammad Sabaruddin juga diketahui memiliki kecerdasan diatas rata-rata anak seusianya di bidang ilmu keagamaan. Kecerdasannya di bidang keagamaan tidak lepas dari peran guru ngajinya yakni Ki Ageng Gribig.

Memasuki usia remaja, Mukhammad Sabaruddin tumbuh dengan perawakan gempal, berotot, dengan karakternya sebagai pemuda yang murah senyum dan dikenal jarang bicara. Karakter pendiam yang dimiliki Mukhammad Sabaruddin terbentuk dari kedua gurunya semasa kecil yakni Ki Ageng Ronggojati dan Ki Ageng Gribig yang juga dikenal pendiam. Selain memiliki karakter yang pendiam, Mukhammad Sabaruddin juga dikenal sebagai sosok remaja yang memiliki budi pekerti luhur, andap ansor, dan lembah manah.

Di usianya yang masih remaja, Mukhammad Sabaruddin mesti berpisah dengan guru kanoragannya yakni Ki Ageng Ronggo Jati. Hal tersebut dikarenakan Ki Ageng Ronggo Jati lebih memilih untuk mundur dari pekerjaannya sebagai kanoragan bergodo Keraton Mataram setelah mengalami perselisihan dengan putra Sultang Agung yang bernama Raden Mas Syidin (kelak bergelar Amangkurat 1).

Akibat dari perselisihannya, Ki Ageng Ronggo Jati lebih memilih untuk keluar dari lingkungan keraton, hingga menyingkir ke Desa Klepu yang sekarang menjadi wilayah Keling, Jepara, Jawa tengah. Menetap di Klepu, beliau memilih untuk mendirikan padepokan dan mengajarkan ilmu kanoragan kepada masyarakat setempat. Sehingga Mukhammad Sabaruddin merasa begitu  kehilangan sosok guru kanoragan, alhasil ia lebih memilih untuk fokus belajar ilmu keagamannya bersama Ki Ageng Gribig.

Memasuki tahun 1645 M,  Sultan Agung Hanyokrokusuma (Raja Mataram Islam) wafat setelah gagal menaklukan Batavia dibawah kekuasaan VOC pada waktu itu. Sepeninggalan Sultan Agung Hanyokrokusuma, beliau digantikan oleh putranya yakni Raden Mas Sayiddin dengan gelar Susuhan Hamangkurat Agung (Amangkurat I).

Mengungsi ke daerah Banyumas

Kepergian Sultan Agung Hanyokrokusuma juga berdampak pada lingkungan keraton yang kurang kondusif. Konflik politik pada waktu itu memaksa Bekel Sutawijaya mengungsikan istrinya Ong Ming Tang beserta putranya ke kampung halamannya yakni Tamansari, Banyumas.

Keputusan Bekel Sutawijaya dilatarbelakangi adanya suksesi kepemimpinan Keraton Mataram yang berdampak pada konflik internal di lingkungan keraton. Terdapat pergeseran dan pergesekan jabatan diantara penguasa baru Keraton Mataram. 

Dengan diungsikannya Mukhammad Sabaruddin bersama ibunya ke daerah Banyumas, maka mau tidak mau Mukhammad Sabaruddin mesti berpisah dengan guru mengajinya yakni Ki Ageng Gribig.

Meskipun demikian, Bekel Sutawijaya telah menitipkan Mukhammad Sabaruddin kepada Kyai Jumirin untuk belajar ilmu agama. Kyai Jumirin sendiri pernah menjadi guru bagi Bekel Sutawijaya sewaktu masih tinggal di Banyumas.

Selama di Banyumas Mukhamad Sabaruddin juga kerap mengasah kemampuannya berlatih ilmu kanoragan. Ia sendiri kerap menggunakan halaman belakang kediaman Kyai Jumirin untuk berlatih ilmu kanoragan. Aktivitasnya berlatih, perlahan memancing perhatian para pemuda di desa yang kebetulan sedang belajar mengaji bersama Kyai Jumirin. Semakin sering Mukhamad Sabaruddin berlatih ilmu kanoragan, semakin banyak para pemuda desa yang tertarik untuk berlatih olah kanoragan bersama Mukhamad Sabaruddin.

Aktivitas kanoragan di halaman belakang rumah Kyai Jumirin juga berpengaruh pada jumblah santrinya yang semakin bertambah banyak. Bahkan, beberapa pemuda dari luar desa kerap mendatangi kediaman Kyai Jumirin untuk berlatih mengaji dan bela diri.

Dalam tradisi pengajarannya, Kyai Jumirin kerap mewajibkan para santrinya untuk hafalan Alquran yang dilaksanakan setiap malam bulan purnama, atau dalam tradisi jawa setiap tanggal 15 sehabis sholat Isya.

Setelah para santri selesai dengan kegiatan menghafal Alquran, kebanyakan dari mereka diajak untuk latih tanding bersama Mukhamad Sabaruddin. Sekaligus menunjukan hasil latihan mereka selama ini.

Kegiatan latih tanding tersebut lambat laun menjadi perhatian warga desa Tamansari dan juga sekitarnya. Sehingga banyak dari warga desa berbondong-bondong menyimak kegiatan latih tanding tersebut, bahkan menjadikannya sebagai hiburan. Fenomena tersebut dimanfaatkan oleh Kyai Jumirin sebagai sarana menyiarkan ajaram agama Islam kepada masyarakat Banyumas yang pada konteks waktu tersebut masih enggan untuk memeluk Agama Islam.

Dicurigai Adipati Banyumas

Kegiatan latih tanding yang diinisiasi oleh Mukhamad Sabaruddin, menimbulkan kecurigaan Adipati Banyumas yakni R. Adipati Mertayuda I. Sehingga Kyai Jumirin dipaksa menghadap Adipati Banyumas untuk menjelaskan maksud dan tujuan dari kegiatan latih tanding tersebut.

Dihadapan Adipati Banyumas, Kyai Jumirin menjelaskan kegiatan latih tanding yang berlangsung di belakang rumahnya tersebut merupakan kegiatan yang diinisiasi langsung oleh santrinya yakni Mukhamad Sabaruddin. Keterangan yang disampaikan oleh Kyai Jumirin justru memancing rasa keingintahuan dari Adipati Banyumas, maka Adipati Banyumas meminta Kyai Jumirin untuk menghadirkan santrinya tersebut dihadapannya.

Atas permintaan dari Adipati Banyumas, Mukhamad Sabaruddin dengan kesediaannya menghadap Adipati Banyumas di pendopo kadipaten. Selain itu, Mukhamad Sabaruddin juga diminta untuk menunjukan keterampilan kanoragannya dengan latih tanding melawan bergodo muda Kadipaten Banyumas. Hasilnya tidak ada satupun dari begodo-begodo muda tersebut yang mampu menandingi kemampuan Mukhamad Sabaruddin dalam ilmu kanoragan.

Melihat secara langsung kemampuan Mukhamad Sabaruddin dalam ilmu kanoragan justru membuat Adipati Banyumas semakin khawatir, bahwa Mukhamad Sabaruddin dapat memicu pemberontakan terhadap kekuasaan Mataram. Rasa khawatirnya tersebut membuat Adipati Banyumas memerintahkan Kyai Jumirin untuk menghentikan kegiatan latih tanding di pesantrennya.

Dibawa ke Keraton Mataram

Kecurigaan Adipati Banyumas terhadap sosok Mukhamad Sabaruddin bukanlah tanpa alasan, hal tersebut dikarenakan Mukhamad Sabaruddin memiliki kemampuan, sikap, dan motif yang jauh berbeda dengan pemuda desa pada umumnya.

Kecurigaannya tersebut mendorong Adipati Banyumas untuk membawa Mukhamad Sabaruddin menuju Keraton Mataram. Awalnya Kyai Jumirin sempat keberatan jika salah satu santrinya dibawa ke lingkungan Keraton Mataram,  namun sang kyai tidak bisa menolak lantaran Adipati Banyumas akan tetap membawa paksa Mukhamad Sabaruddin dengan tuduhan melakukan aksi pemberontakan terhadap Keraton Mataram

Mendengar ancaman itu akhirya Kyai Jumirin melepas santrinya untuk ikut dalam rombongan penghantar upeti menuju Keraton Mataram. Maka sore harinya Muhammad Sabaruddin ikut dalam rombongan Adipati Banyumas tersebut.

Sesampainya di Keraton Mataram Adipati Banyumas dipersilahkkan menghadap Sultan Mataram Sri Susuhunan Hamengkurat Agung untuk menyerahkan upeti, sekaligus menyampaikan bahwa di dalam rombongannya terdapat seorang pemuda yang memiliki keterampilan yang melebihi pemuda-pemuda desa pada umumnya. Bahkan Adipati Banyumas tersebut juga menyampaikan bahwa pemuda tersebut telah mengaku-ngaku sebagai putra dari Bekel Sutawijaya, salah satu Manggala Yudha di Keraton Mataram.

Mendengar laporan dari Adipati Banyumas tersebut, Sultan Mataram Sri Susuhuman Hamengkurat Agung memerintankan kepada Adipati Banyumas untuk membawa pemuda yang dilaporkan menghadap dirinya. Maka dibawalah Mukhammad Sabaruddin ke hadapan Sultan Mataram tersebut.

Adipati Banyumas dibuat semakin heran ketika Mukhammad Sabaruddin memasuki Siti Inggil (Aula tempat Singgsana Sultan) Keraton Mataram, tanpa terlihat rasa canggung sama sekali. Sepertinya Mukhammad Sabaruddin sangat paham akan tata cara dan aturan-aturan memasuki Siti Inggil Keraton. Hal itu juga tidak luput dari pengamatan Sultan mataram Sri Susuhunan Hamengkurat Agung.

Tanpa banyak kata Sultan Mataram menanyakan kepada sang pemuda apa benar dirinya adalah putra bekel Sutawijaya dan dibenarkan oleh Mukhammad Sabaruddin. Untuk memastikan kebenarannya, maka Sultan Mataram memanggil Bekel Sutawijaya untuk menghadap beliau. Dan ternyata Bekel Sutawijaya terkejutnya tatkala melihat putranya juga berada di dalam siti inggil Keraton Mataram.

Ketika ditanya oleh Sultan Mataram prihal pemuda yang saat ini berada di hadapannya adalah putranya, Bekel Sutawijaya membenarkan dan menceritakan bahwa putranya adalah murid dari Ki Ageng gribig dan Ki Ageng Ronggojati yang saat ini sedang menimba ilmu di Banyumas, tepatnya di pondok pesantren Kyai Jumirin.

Mendengar keterangan dari bekel Sutawijaya, Sultan Mataram pun menjadi yakin bahwa Mukhammad Sabaruddin tidak mungkin melakukan pemberontakan, sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Adipati Banyummas. Hal itu dikarenakan ayahanda Mukhammad Sabaruddin adalah salah satu Manggala Yudha yang terkenal sangat setia terhadap Kasultanan Mataram.

Kebetulan pada saat itu Kasultanan Mataram sedang membutuhkan tenaga-tenaga terampil dibidang bela diri olah kanoragan untuk dijadikan Bergodo Mataram, maka Sultan Mataram memerintahkan Mukhammad Sabaruddin untuk tetap tinggal di Keraton Mataram dan menjadi bergodo jajar (Prajurit Tamtama) dan tidak kembali lagi ke Banyumas. Perintah langsung Sultan Mataram tersebut disambut suka cita oleh Mukhammad Sabaruddin dan ayahanda Bekel Sutawijaya. Sehingga, sejak saat itu Mukhammad Sabaruddin kembali menetap di kota Surakarta untuk menjadi Bergodo Jajar Kasultanan Mataram.

Menikah dengan putri Kyai Jumirin

Setahun setelah diangkatnya Mukhamad Sabaruddin sebagai Bergodo Jajar Kasultanan Mataram, ayahnya Bekel Sutawijaya mengajaknya untuk pergi kembali ke Banyumas untuk mengunjungi gurunya yaitu Kya Jumirin. Diketahui bahwa pada saat itu Mukhamad Sabaruddin telah menginjak usia 19 tahun. Kunjungan bapak dan anak itu disambut gembira oleh Kyai Jumirin dan santri- santrinya.

Kunjungan mereka tersebut juga dimanfaatkan oleh Bekel Sutawijaya untuk mengutarakan niatnya menjodohkan putranya Mukhammad Sabaruddin dengan salah satu Putri Kyai Jumirin. Perjodohan tersebut juga merupakan upaya Bekel Sutawijaya untuk menyambung tali persaudaraan. Niat baik Bekel Sutawijaya itu di sambut baik oleh Kyai Jumirin, karena pada dasarya sejak Mukhammad Sabaruddin pertama kali datang ke pesantrennya, Kya Jumirin sudah berangan-angan menjodohkan salah satu putrinya dengan putra Bekel Sutawiajaya itu.

Berhubung putri keempat Kyai Jumirin yang bernama Endang Sumirah pada saat itu sudah dijodohkan dengan salah satu santrinya, maka Mukhammad Sabaruddin mesti dijodohkan dengan putri bungsunya yang bernama Endang Sulastri.

Empat bulan setelah menikahi Endang Sulastri, Muhammad Sabaruddin memboyong istrinya tersebut untuk menetap di Kota Surakarta. Namun, Pernikahan mereka tidak berlangsung lama hanya bertahan kurang lebih lima tahun. Karena Endang Sulastri mesti wafat saat melahirkan putra ketiganya pada usia 21 Tahun.

Sepeninggal sang istri membuat Mukhammad Sabaruddin menjemput kedua mertuanya yaitu Kyai Jumirin dan istrinya untuk diboyong ke kota Surakarta. Hal itu dilakukan oleh Mukhammad Sabaruddin agar dapat membantunya mengurus ketiga putranya yang masih balita.

Pusaka Kyai Jabardas

Memasuki Tahun 1654 Masehi, telah terjadi peristiwa yang menggemparkan Kasultanan Mataram, yaitu raibnya Pusaka Kyai Jabardas yang merupakan Pusaka Utama Kasultanan Mataram. Setelah diselidiki, Hilangnya Pusaka utama kasultanan Mataram itu ternyata dicuri oleh Tumenggung Kertinegara Adipati Sruni (Kebumen).

Mengetahui bahwa Pusaka Kyai Jabardas telah dikuasai oleh Adipati Sruni Tumenggung Kertinegara. Sultan Mataram Sri Susuhunan Hamengkurat Agung memerintahkan Bekel Sutawijaya beserta putranya Mukhammad Sabaruddin untuk merebut kembali Pusaka Kyai Jabardas dari tangan Tumenggung Kertinegara.

Guna melancarkan tugas, Sultan Mataram mengangkat Bekel Sutawiajaya sebagai Demang Kutowinangun (Panjer/Kebumen), serta dianugerahi kenaikan pangkat dengan gelar Raden Ngabehi (R.Ng) Kramayudha. Sedangkan putranya Mukhammad Sabaruddin diberi kenaikan pangkat sebagai Bekel Dipoyono.

Maka berangkatlah ayah dan anak untuk menunaikan tugas merebut kembali Pusaka Kasultanan Mataram kyai jabardas dari tangan Tumenggung Kertinegara. Namun, sebelum ayah dan anak itu berangkat menuju ke Kadipaten Panjer (Kebumen), Sultan Mataram telah berpesan agar mereka berhati-hati dan sedapat mungkin menghindari terjadinya pertempuran secara fisik dengan Tumenggung Kertinegara.

Sesampai di Kutowinangun Kadipaten Panjer (Kebumen) yang lokasinya tidak terlalu jauh dengan Kadipaten Sruni, R.ng Kramayudha berunding dengan putranya untuk mengatur strategi bagaimana caranya agar dapat mengambiil kembali Pusaka Kya Jabardas tapa harus bertarung secara fisik dengan Tumenggung Kertinegara.

Setelah berunding dengan sang putra, R,Ng Kramayudha memerintahkan Mukhammad Sabaruddin untuk menyelidik kegemaran atau hobbi dari Tumenggung Kertinegara. Beberapa waktu kemudian setelah melakukkan penyelidikan kurang lebih 3 Bulan. Bekel Dipoyono melaporkan kepada ayahandanya bahwa Tumenggung Kertinegara sangat gemar dengan olah kanoragan, bahkan setiap awal bulan selalu mengadakan sayembara berupa gladen olah kanoragan (semacam pertandingan bela diri) di alun-alun pendopo Kadipaten Sruni. Selain itu Tumenggung Kertinegara juga sangat gemar memelihara burung perkutut.

Menarik perhatian Tumenngung Kertinegara

Setelah mengetahui kegemaran Tumenggung Kertinegara dari hasil penyelidikan putranya R.Ng. Kramayudha memutusakan untuk bersilaturahmi ke Kadipaten Sruni untuk menemui Tumenggung Kertinegara.

Beberapa waktu kemudian R.Ng Kramayudha didampingi putranya Mukhammad Sabaruddin berangkat menuju Kadipaten Sruni menemui Tumenggung Kertinegara, sambil membawa burung perkutut sebagai oleh-oleh.  Sesampainya di Kadipaten Sruni R.Ng. Kramayudha memperkenalkan diri sebagai Demang Kutowinangun yang baru.

Kedatangan R.Ng. Kramayudha disambut baik oleh Tumenggung Kertinegara, sebagai sesama pejabat Keraton Mataram walaupun beda kedudukan. Kegiatan silaturahmi ke kadipaten Sruni dilakukan terus-menerus oleh R.Ng. Kramayudha dengan membawa burung perkutut. Bahkan R.Ng. Kramayudha mengetahui informasi baru bahwa kegiatan gladen olah kanoragan tersebut bertujuan untuk menghimpun pemuda-pemuda di kadipaten Sruni untuk melawan Kasultanan Mataram. keberanian dari adipati Sruni itu dikarenakan ia telah memegang Pusaka Kyai Jabardas yang diyakini memiiliki Yoni Wahyu Keprabon, artinya siapa saja yang memiliki pusaka Kyal Jabardas akan menjadi Raja/Sultan.

Setelah mengetahui bahwa pusaka kyai Jabardas benar dibawa oleh Adipati Sruni, R.Ng. Kramayudha memerintahkan kepada putranya Mukhammad Sabarrudin, agar setiap awal bulan mengikuti gladen olah kanoragan yang diselenggarakan oleh Tumenggung Kertinegara.

Mendapat perintah ayahandanya, Mukhammad Sabaruddin sangat antusias sekali mempersiapkan diri untuk mengikuti gladen olah kanoragan di alun-alun Kadipaten Sruni. Sesampai di Kadipaten Sruni, R.Ng. Kramayudha menyampaikan niatnya dan memohon ijin kepada Tumenggung Kertinegara agar putranya Mukhammad Sabaruddin diperkenankan mengikuti gladen olah kanoragan.

Sudah barang tentu sebagai seorang Tumenggung yang pada dasarnya gemar olah kanoragan, Adipati Sruni mempersilahkan kepada putra Demang Kotawinangun itu untuk mengikuti gladen olah kanoragan.

Setelah mendapat ijin Tumenggung Kertinegara, putra Demang Kutowinangun tersebut melangkahkan kaki menuju alun-alun Kadipaten Sruni untuk mengikuti Gladen olah kanoragan. Hasilnya, penonton dibuat terkagum-kagum tidak terkecuali Tumenggung Kertinegara saat menyaksikan keterampilan Mukhammad Sabaruddin dalam olah kanoragan. Sepanjang gladen tidak satu pesertapun mampu mengalahkan putra Demang Kutowinangun tersebut.

Dijadikan Menantu Tumenggung Kertinegara

Kedigdayaan Mukhammad Sabruddin dalam olah kanoragan membuat hati Tumenggung Kertinegara kepincut. Maka saat kunjungan R.Ng. Kramayudha bulan berikutnya ke kadipaten Sruni, Tumenggung Ketinegara menyampaikan ketertarikannya terhadap putra Demang kutowiangun R.Ng. Kramayudha dan berniat menjodohkannya dengan putri bungsunya yang bernama Roro Inten.

Keinginan Tumenggung Sruni tersebut sudah barang tentu disambut baik oleh R.Ng. Kramayudha, tentunya Demang Kutowinangun juga menyampaikan kepada Tumenggung Kertinegara bahwa putranya saat itu telah berstatus duda dengan tiga putra yang ditinggal wafat istrinya. Status duda Mukhammad Sabaruddin tidak dipermasalahkan oleh Tumenggung Kertinegara.

Pada Bulan berikutnya pernikahan Mukhammad Sabarruddin dengan Roro Inten digelar besar-besaran selama tiga hari tiga malam. Bahkan Sultan Mataram Sri Susuhunan Hamangkurat Agung  sampai menunjuk utusan khusus untuk menghadiri pernikahan Mohammad Sabaruddin dengan Roro Inten.

Setelah beberapa waktu pernikahannya dengan putri Adipati Sruni, Mukhammad Sabaruddin pulang ke kota Surakarta untuk menjemput putra-putranya. Namun mertuanya (Kyai Jumirin dan Istrinya ) tidak berkenan bila cucu-cunya diboyong ke Kadipaten Sruni. Dikarenakan mertua Mukhammad Sabaruddin kawatir cucu-cucunya tidak mendapat perhatian yang cukup jika nantinya Mukhammad Sabaruddin memperoleh anak dari Roro Inten.

Walaupun demikian, Mukhammad Sabaruddin tetap meyakinkan mertuanya bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi. Kyai Jumirin dan istrinya tetap bersikukuh bahwamereka yang akan merawat putra-putra Muhammad Sabaruddin dari almarhum putrinya yang bernama Endang Sulastri, hingga dewasa. Setelah melalui perundingan yang alot, akhirnya Kyai Jumirin dan istrinya sepakat dan mengijinkan Mukhammad Sabaruddin membawa salah satu putranya ke kadipaten Sruni. Akhirnya Mukhammad Sabaruddin menjatuhkan pilihan ke putra bungsunya yang bernama Hanggawijaya yang saat itu mash berusia satu setengah tahun untuk diboyong ke kadipaten Sruni.

Mengembalikan Pusaka Kyai Jabardas

Kurang lebih tiga bulan setelah pernikahnnya dengan Roro Inten, Mukhammad Sabaruddin memberanikan diri menghadap mertuanya Tumenggung Kerinegara untuk membicarakan masalah pusaka. Tumenggung Kertinegara tampak tidak terkejut sama sekali ketika Demang mereka membicarakan masalah pusaka. Karena sejak awal Adipati Sruni itu tahu maksud dan tujuan dari R.Ng Kramayudha sering silaturhami kekediamannya, sambil menghadiahkan burung perkutut kegemarannya.

Maka Tumenggung Kertinegara sepakat untuk mengembalikan Pusaka Kyai Jabardas ke Keraton Mataram dengan syarat yang akan menyerahkan ke Sultan Mataram Sri Susuhunan Hamenkurat Agung adalah dirinya sendiri, didampingi menantunya Mukhammad Sabaruddin dan melarang Demang Kutowinangun ikut menghadap Sultan Mataram. Syarat itu lantas disetujui oleh R.Ng.Kramayudha karena bagi Demang Kutowiangun yang terpenting adalah Pusaka Kyai Jabardas dapat Kembali ke Keraton Mataram dan berarti tugas yang diembankan oleh Sultan Mataram dapat diselesaikannya dengan damai tapa harus melalui kontak fisik.

Setibanya di Keraton Mataram, Adipati Sruni Tumenggung Kertinegara didampingi menantunya Mukhammad Sabaruddin menyampaikan maksud kedatangannya untuk mengembalikan Pusaka Kyai Jabardas, sekaligus memohon ampun atas kesalahannya mengambil Pusaka Kyai Jabardas dari gudang pusaka kraton Mataram.

Dalam kesempatan itu pula Adipati Sruni menyampaikan bahwa kedatangannya mengembalikan pusaka itu juga tidak lepas dari usaha dan bujukan Mukhammad Sabaruddin menantunya. Sultan Mataram Sri Susuhunan Hamenkurat Agung sangat gembira mengetahui bahwa kedatangan Tumenggung Kertinegara untuk mengembalikan pusaka Kyai Jabardas. Atas niat baik Tumenggung Mentinegara Sultan Mataram memberikan pengampunan dan tidak menghukum Adipati Sruni atas kesalahannya.

Disamping mengampuni Tumenggung Kertinegara Sultan Mataram juga menganugerahkan kenaikan pangkat kepada Bekel Dipoyono alias Mukhammad Sabaruddin sebagai pembantu Adipati Sruni dengan gelar R.Ng.Kramaleksana yang bertugas mengawasi wilayah Klagen Kilang (bagian dari kadipaten Sruni) yang dikemudian hari dikenal dengan nama Desa Selang (Kebumen).

Mendirikan Pondok Pesantren di Klagen Kilang

Sekembalinya dari Keraton Mataram, R.Ng.Kramalekana membangun tempat tinggal di wilayah Klagen Kilang yang sekaligus dijadikannya tempat untuk menyiarkan agama islam (semacam pondok pesantren), sebagaimana yang pernah dilakukan oleh mertuanya yang pertama yakni Kyai Jumirin di Banyumas.

Setelah tempat tinggal selesai dibangun, R.Ng.Kramalekana berpamitan pada mertuanya Tumenggung Kertinegara untuk memboyong istrinya Roro Inten ke Klagen Kilang. Kehadiran R.Ng.Kramalekana di wilayah Klagen Kilang disambut gembira oleh masyarakat setempat. Apalagi R.Ng.Kramalekana juga menjadikan tempat tinggalnya sebagai pondok pesantren untuk mengajar anak-anak muda mendalami agama Islam.

Pondok pesantren R.Ng.Kramalekana bukan hanya mengajarkan ilmu agama saja, juga mengajarkan pula keterampilan olah kanoragan. Banyak pemuda-pemuda di sekitar wilayah Klagen Kilang yang tertarik untuk belajar di pondok pesantren R.Ng. Kramaleksana, hal tersebut dikarenakan R.Ng. Kramaleksana begitu disanjung dalam kemampuan kanoragannya.

Setelah mendapat santri yang cukup banyak, R.Ng.Kramaleksana memulai kembali apa yang dulu pernah dilakukan dipesantren Kyai Jumirin Banyumas, yaitu membuat panggung di depan tempat tinggalnya dan setiap malam bulan purnama menyelenggaran latih tanding bela diri olah kanoragan bagi santri- santrinya. Selain latih tanding, R.Ng.Kramalekasana juga melakukan ritual pengisian ilmu kanoragan (kebal senjata tajam) kepada santri-santrinya dengan cara memandikan mereka di sumur belakang tempat tinggalnya (sampai saat ini sumur tersebut masih ada) setelah selesai melakukan latih tanding.

Sebagai bayangan, rumah sekaligus pondok pesantren R.Ng. Kramaleksana sekarang telah menjadi Kantor Kelurahan Selang. Sedangkan sumur yang digunakan untuk memandikan para santri R.Ng.Kramaleksana, berada tepat di belakang kantor kelurahan dan telah menjadi situs resmi cagar budaya.

Mengamankan Joko Sangkrib

Beberapa tahun kemudian setelah tinggal di Klagen Kilang, Pondok Pesantren R.Ng.Kramalekana kedatangan utusan khusus Sultan Mataram Sri Susuhunan Hamengkurat Agung. Utusan tersebut menyampaikan kepada R.Ng.Kramalekana, bahwa rombongan adipati yang sedang melintasi wilayah Kutowinangun, selalu diganggu oleh segerombolan begal saat sedang mengantarkan upeti menuju Keraton Mataram. Oleh karena itu Sultan Mataram memerintahkan R.Ng. Kramalekana untuk mengawal para adipati yang akan mengantarkan Pajak ke Keraton Mataram tersebut.

Perintah itu disanggupi oleh R.Ng.Kramalekana dengan syarat rombongan adipati di wilayah barat Panjer diminta terlebih dahulu berkumpul di Klagen Kilang. Kemudian nantinya akan diberangkatkan bersama-sama menuju Keraton Mataram dengan kawalan langsung R.Ng.Kramalekana. Syarat tersebut kemudian disetujui oleh utusan khusus Sultan Mataram.

Sejak saat itu, rombongan Adipati Mataram di wilayah barat (Cilacap, Banyumas, Purwokerto, Purbalingga disb) terlebih dahulu berkumpul di Pondok Pesantren R.Ng.Kramalekana. Biasanya para adipati datang tidak pada waktu yang sama, sehingga membutuhkan waktu sekitar 1 minggu menetap di Klagen Kilang, sembari menungu rombongan para adipati lengkap. Setelah lengkap mereka berangkat bersama-sama dengan kawalan R.Ng.Kramalekana beserta beberapa orang santrinya.

Setibanya di daerah Kutowinangun, rombongan mereka dihadang oleh geromboolan begal yang ternyata dipimpin oleh seorang pemuda. Saat berhadapan dengan pimpinan begal R.Ng.Kramalekana nampak terkejut, karena pemuda yang menjadi pimpinan begal tersebut ternyata adalah saudara angkatnya sendiri yaitu Joko Sangkrib. Joko Sangkrib adalah anak angkat Demang Kutowinangun yang diasuh sejak kecil oleh R.Ng Kramayudha. 

Demikian juga halnya dengan Joko sangkrib yang tidak menyangka bahwa pimpinan rombongan pembawa upeti kali ini adalah kakak angkatnya sendiri. Namun keduanya pura-pura tidak saling mengenal dan tetap saling beradu keterampilan olah kanoragan, walaupun keduanya terlihat melakukannya dengan sangat berhati-hati agar tidak saling melukai.

Ketika sedang bertarung, Joko Sangkrib berkata pelan kepada kakak angkatnya agar dirinya diringkus dan dibawa serta ke Keraton Mataram untuk dihadapkan kepada Sultan Mataram. R.Ng.Kramalekana mengiyakan permitaan adik angkatnya, sehingga dengan mudahnya Joko Sangkrib diringkus oleh R.Ng.Kramalekana dan di bawa serta menuju Keraton Mataram.

Diangkat menjadi Manteri Pamajegan

Sesampainya di Keraton Mataram R.Ng.Kramalekana bersama para adipati menghadap Sultan Mataram, Sri Susuhunan Hamangkurat Agung. Mereka melaporkan bahwa rombongan adipati yang menghantarkan upeti telah selamat semua. Disamping itu R.Ng.Kramalekana juga melaporkan bahwa begal yang selama ini menghadang rombongan pembawa upeti juga telah ia ringkus.

Mendengar laporan R.Ng.Kramalekana Sultan Mataram sangat senang dan meminta si begal untuk menghadap diriya. Saat Joko Sangkrib dihadapkan kepada Sultan mataram, wajah Sri Susuhunan Hamengkurat Agung terkejut karena merasa tidak asing dengan wajah Joko Sangkrib.

Dengan suara gemetar Sultan Bertanya pada Joko Sangkrib siapa dirinya dan darimana asalnya. Perlahan Joko Sangkrib menjelaskan bahwa dirinya adalah putra adik Sultan Mataram, karena situasi politik keraton saat itu, dirinya sejak kecil dititipkan kepada Bekel Sutawijaya.

Mendengar penjelasan Joko Sangkrib, akhirnya Sultan Mataram mengampuni perbuatan Joko Sangkrib dan memintanya untuk tinggal di Keraton Mataram. Pada kesempatan itu juga, Sultan Mataram mengangkat R.Ng.Kramalekana sebagai menteri pemajegan di wilayah barat dan mewajibkan seluruh Adipati Mataram yang berada di wilayah barat untuk terlebih dahulu berkumpul di Klagen kilang, tepatnya di Pondok Pesantren R.Ng.Kramalekana agar mendapat kawalan selama mengantarkan upeti menuju Kraton Mataram. Selain itu, wilayah Klagen Kilang ditetapkan sebagai wilayah pardikan dan diberi kebebasan untuk tidak membayar upeti kepada Kraton Mataram.

***

NB: Tulisan ini bersumber dari Tim Pencari Fakta Sejarah Yayasan Raden Ngabei Kramaleksana, penulis hanya mengartikulasikan ulang kedalam bentuk artikel. Adapun Tim Pencara Fakta Sejarah tersebut yakni:

Ketua Tim                   : KRT. H. Harso Seta Wasesa, S.H, M.H.

Wakil Ketua TIM        : H.R. Risyanto, S.T. Arst

Anggota TIM              : R. Ari Kurniawan, S.Sos

Anggota TIM              : KR. Ngt Ria Heri Astuti, Amd

Anggota TIM              : R. Yanuar Ari Setiyadi, S.E

Anggota TIM              : R. Seno Basworo, S.H

Bagikan :

Tambahkan Komentar Ke Twitter

Arsip Berita

Statistik Pengunjung